Halaman

Senin, 16 April 2012

PROBLEM KENEGARAAN DAN KEWARGANEGARAAN

-->
PROBLEM KENEGARAAN DAN KEWARGANEGARAAN

1.      Beberapa waktu yang lalu sebelum ramai-ramai persoalan reshufel kabinet, telah terjadi gejolak para petani kentang Dieng yang berbondong-bondong ke jakarta untuk melakukan ”demo” menuntut penghentian impor kentang yang dirasa merugikan petani kentang. Persoalan impor ini pada dasarnya sekedar pengulangan kisah ironi lain, yaitu Indonesia yang mempunyai panjang pantai terpanjang keempat di dunia, yaitu 95.151 km itupun sampai mengimpor garam. Bahkan jauh sebelum itu, yaitu sejak Orde Baru, pesoalan impor beras tidak banyak dipersoalkan. Padahal jumlah penduduk bertambah, petani dan lahan semakin berkurang, tetapi mengapa penghasil beras tidak bisa menikmati hukum ekonomi yang wajar, yaitu penawaran tetap,permintaan meningkat, maka seharusnya harga naik. Mengapa  untuk indonesia hal itu tidak terjadi ?. Karena ada impor beras.
Bahkan yang lebih aneh lagi, untuk pemain sepak bola yang hanya dibutuhkan 11 orang saja dari 230an juta penduduk Indonesia, kita harus mengimpor pemain asing sampai lebih dari 7 orang (yang dalam bahasa kewarganegaraan adalah naturalisasi). Berdasarkan kondisi yang seperti ini, apakah memang Indonesia ini juga perlu impor Presiden? Atau kalau itu tidak memungkinkan, apakah perlu kita mendeklarasikan diri saja menjadi wilayah negara asing tertentu yang pendapatannya perkapita terbesar didunia,sehingga dapat mensejahterakan penduduknya terutama para petani sebagaimana petani-petani di negara maju seperti Eropa, AS, dan Jepang.
Analisis berdasarkan perspektif Ilmu dan Pendidikan Kewarganegaraan
2.      Kaderisasi menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam regenerasi kepemimpinan nasional. Susilo Bambang Yudoyono mulai menjadi presiden pada usia 55 tahun,Megawati usia 54 tahun, Abdurrahman wahid 59 tahun, Habibi 62 tahun. Sedangkan Suharto pada usia 46 tahun, Sedangkan Sukarno 44 tahun. Pada sisi lain tokoh-tokoh partai politik muda kenyataanya terindikasi korupsi atau perbuatan tercela lain seperti Andi Malaranggeng, Muhaimin Iskandar, Angelina sondakh, Anas Urbaningrum, Nasarudin dan lain sebagainya. Apalagi dibandingkan dengan tokoh-tokoh pergerakan yang hampir semuanya di usia 30-40 tahun, seperti Sjahrir, Kasman Singodimejo, Tan Malaka, Sutomo, Bung Tomo dan masih banyak lagi.
Berdasarkan fakta dan fenomena tersebut diatas, apabila dilihat dengan persepektif kewarganegaraan, apa komentar dan pendapat saudara sebagai generasi muda.
Jawaban :
1.      Analisis kebijakan Impor berdasarkan perspektif Ilmu dan Pendidikan kewarganegaraan.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dewasa ini memilih kebijakan impor. Dan kebijakan ini dijalankan tanpa didahului tindakan pembenahan birokrasi yang bertanggungjawab mengurus produksi, stok, distribusi dan perdagangan dalam negeri. Misalnya saja kebijakan impor beras. ketika musim panen raya tiba beras impor yang lebih murah membanjiri tanah air, sehingga harga beras pun turun drastis. Jatuhnya harga beras lokal itu juga tak terlepas dari membanjirnya beras impor dan selundupan di berbagai daerah karena tak ada pengamanan yang baik. Masalah besar muncul kembali ketika harga pasar naik, konsumen kebingungan, tetapi petani pun ikut bingung karena kenaikan harga tidak berimbas pada kenaikan harga gabah. Contoh lain, Kebijakan Mendag memberikan izin terhadap importasi kentang membuat petani kentang terpuruk dan tidak dapat menikmati harga yang optimal. Setiap kali Kementerian Perdagangan melegalisasi impor, semakin menegaskan kebijakannya tidak berpihak kepada petani namun kepada pasar.
Hal ini dirasa sama dengan kebijakan Impor garam. Pada tahun 2010 harus diakui garam impor sangat diperlukan untuk memenuhi konsumsi garam nasional. Proses produksi garam yang masih mengandalkan proses alami dari panas sinar matahari telah menjadi kendala ketika cuaca buruk, seperti yang terjadi sepanjang 2010. Sebagian besar masyarakat mempertanyakan kenapa Indonesia yang lautnya luas masih mengimpor garam. Seharusnya para pemangku kepentingan sadar hal itu dan membuat kebijakan pergaraman nasional yang baik. Hal ini disebabkan oleh pemerintah tidak serius membenahi proses produksi garam nasional. Seharusnya sejak lama pemerintah dan perguruan tinggi dapat mengembangkan berbagai teknologi tepat guna dan ekonomis bagi para petani garam, namun hal itu hanya berhenti di angan-angan. Bahkan ketika ditanyakan pada kalangan perguruan tinggi dan pemerintah: adakah ahli garam di Indonesia? Sungguh Ironis, banyak yang tidak tahu siapa ahli garam yang ada di negara bahari ini.
v Analisis Kebijakan Impor berdasarkan perspektif Ilmu dan Pendidikan Kewarganegaraan
Kegentingan situasi kelaparan dan bencana alam, agaknya lebih berat pada penerapan faham atau pola pikir sekuler dan liberal yang bertumpu pada kekuatan ekonomi semata. Hal ini logis dalam konteks demokrasi dan globalisasi. Tetapi dengan diterapkannya kebijakan impor beras, kentang, garam bahkan pemain sepak bola dimotivasi oleh faham sekuler dan liberal tersebut, bukankah pemerintah telah mengabaikan faham politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama sesuai nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia dalam Pancasila, salah satunya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kebijakan impor tersebut identik dengan intervensi pemerintah secara berlebihan terhadap sistem ketahanan nasional, sehingga peranan negara dimaksimalkan dan sebaliknya peranan masyarakat diminimalkan.
Intervensi pemerintah dan peranan negara memang diperlukan, tetapi harus terencana dengan baik dan akurat, dahulukan pembenahan birokrasi pemerintah dan optimasi produksi dalam negeri melalui pemberdayaan SDM Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan impor yang sekuler dan liberal tersebut, dasar batiniahnya rapuh atau kurang kokoh. Oleh sebab itu disarankan supaya kelemahan-kelemahan mendasar dalam mengatasi masalah impor, khususnya birokrasi pemerintah harus segera diperbaiki.
Jika tidak, maka akan tidak kelihatan bekas-bekas keberhasilan usaha yang sudah dijalankan pemerintah.
Sebenarnya kebijakan impor ini dapat dilakukan hanya pada situasi genting saja. Misal pada saat pemerintah gencar gencarnya mengimpor pemain sepak bola pada situasi yang mendesak saja karena belum ada bibit bibit unggul di negara ini. Tetapi dengan berjalannya waktu, pemerintah juga harus mencari dan mengembangkan sendiri bakat-bakat pesepak bola yang dimiliki negara ini melalui pelatihan-pelatihan dan arahan-arahan. Jadi, pemerintah tidak terkesan hanya mencari pemain naturalisasi tetapi juga mendidik generasi-generasi kita untuk mempunyai skill yang memadai.
Pada dasarnya Indonesia tidak perlu mengimpor apapun dari luar (apabila tidak pada keadaan yang mendesak), karena Indonesia memiliki SDA dan SDM yang begitu besarnya. Seharusnya Pemerintah dan masyarakat bekerjasama dalam mengembangkan SDA yang kita miliki. Dengan adanya kerjasama baik antara pemerintah maupun rakyat, diharapkan akan tercipta generasi-generasi muda yang dapat menggali dan mengembangkan potensi bangsa ini. Kongkritnya, pemerintah dan partai politik pendukungnya, perlu melakukan pencerahan ulang apakah karyanya sudah bermutu terbaik, bermotif keadilan dan bermetoda benar dengan mengajak serta melibatkan komponen-komponen masyarakat.
2.      Kaderisasi Dilihat Dari Persepektif Kewarganegaraan.
“Leader is Action, not position” (Donald H. Mc Gannon;13). Kutipan tersebut memang tak diragukan lagi kebenarannya. Sejatinya, kepemimpinan memang merupakan sebuah aksi, bukan hanya sekedar posisi. Tanpa memerlukan jabatan, seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat akan dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia memang seorang pemimpin.
Mari kita lihat kondisi kepemimpinan di negeri kita. Kita semua mengetahui bahwa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. Sangat sedikit orang-orang yang berani tampil di negeri ini untuk menunjukkan bahwa dirinya memang siap memimpin. Ambil saja contoh Pilpres tahun 2009, seluruh calon Presiden yang maju ke pentas pemilihan adalah wajah lama. Negara kita butuh pemimpin baru, cukup sudah orang lama mengisi pentas politik di Indonesia. Sudah saatnya indonesia mengalami regenerasi kepemimpinan nasional melalui kaderisasi.

  • Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Krisis Kepemimpinan Nasional
Saat ini, langkah yang tepat untuk mengoptimalkan kaderisasi kepemimpinan nasional adalah dengan menurunkan parliamentary tresshold (ambang batas parlemen) untuk pencalonan presiden. Dengan begitu, peluang untuk memunculkan pemimpin-pemimpin baru jadi lebih besar. Akan banyak gagasan baru, akan banyak ide-ide besar dari para calon pemimpin untuk negeri ini. Akan ada pendidikan politik baru yang jauh lebih partisipatif dan berkualitas. Kaderisasi ini bisa juga dimulai dengan adanya pemilu yang sedang pemerintahan galakkan. Dengan adanya pemilu sangat membantu untuk mensosialisasikan kepada generasi bangsa mengenai politik di negara ini dan mereka juga dapat berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan  untuk mempengaruhi kebijakan serta memilih wakil-wakil rakyat.
Partai politik harus dipaksa mempersiapkan kader yang memiliki kapasitas dan layak untuk memimpin bangsa. Pemaksaan ini perlu dilakukan karena selama ini proses kaderisasi partai politik mandek sehingga regenerasi kepemimpinan nasional juga sulit terjadi. Kader yang dimaksud bukan hanya sebatas usianya yang harus muda, melainkan juga kemampuan dalam memimpin bangsa. Calon pemimpin juga harus memiliki semangat tinggi, integritas, dan rekam jejak yang baik. Untuk mendapatkan kriteria itu tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Harus dididik, benar-benar disiapkan.
Sudah semestinya parpol menanamkan nilai-nilai yang baik dan keteladanan tingkah laku yang baik. Jika hal itu dilakukan terus-menerus, tidak mustahil akan muncul kader yang memiliki karakter baik. Saat berkuasa, mereka tidak hanya memikirkan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki, tetapi bagaimana menjalankan kekuasaan dengan amanah. Pemimpin yang ideal memang dari kalangan kaum muda karena lebih menjanjikan karakter yang dinamis, berani ambil terobosan, dan progresif. Tentu saja, sosoknya harus bersih, punya visi kebangsaan dan kerakyatan, mampu, dan berintegritas. Hal ini dilakukan beberapa negara, seperti sejumlah menteri muda di India.
Jika parpol gagal menyiapkan calon pemimpin bangsa, kalangan masyarakat sipil harus mengambil alih peran parpol. Masyarakat sipil harus mencari dan menyiapkan tokoh-tokoh yang layak memimpin bangsa. Sisa waktu lebih kurang tiga tahun sebelum pemilu dianggap cukup untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa.
  • Peran Mahasiswa Dalam Mengatasi Krisis Kepemimpinan Nasional
Peran kita sebagai pemuda terlebih lagi seorang mahasiswa dalam mengatasi krisis kepemimpinan nasional ialah dengan meyiapkan diri kita untuk memimpin negara. Persiapan tersebut memang harus dilakukan dari sekarang dan kampus merupakan medan yang tepat untuk melakukan berbagai aktivitas kepemimpinan mengingat kampus layaknya miniatur
sebuah negara. Berani untuk mengungkapkan pendapat, mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan, berani memimpin lembaga yang ada di kampus dan bersaing secara sehat dalam berbagai kompetisi kepemimpinan merupakan bentuk persiapan kita menuju kepemimpinan nasional di masa depan. Apabila mahasiswa bisa mengoptimalkan pembelajaran tentang kepemimpinan di kampus, kemudian mempertahankan idealisme setelah keluar dari kampus, maka kedepannya negeri ini akan dipimpin oleh orang-orang yang memang layak untuk dianggap sebagai pemimpin.
Krisis kepemimpinan Nasional di Indonesia merupakan masalah yang perlu segera diatasi demi perubahan bangsa ini. Kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan dan tingkat kemampuan berpikir yang tinggi merupakan kriteria pokok yang harus dimiliki pemimpin-pemimpin baru agar bisa menjawab segala bentuk permasalahan bangsa. Sudah saatnya negara memberikan pendidikan kepada calon-calon pemimpin bangsa untuk mengungkapkan gagasan atau ide-ide besar mereka mengenai masa depan Indonesia. Mahasiswa pun harus segera mulai menyiapkan diri untuk memimpin negeri agar siklus kaderisasi kepemimpinan nasional nantinya bisa berjalan secara seimbang dan berkualitas.
  • Aplikasi gerakan kaderisasi generasi muda berbasis nilai ketuhanan dan kebangsaaan.
Gerakan pembentukan kaderisasi bangsa diterapkan secara terintegrasi dalam semua akses pembelajaran baik formal maupun informal. Secara formal, nilai ketuhanan dan kebangsaan diberikan di semua aspek sistem pendidikan. Nilai agama lebih intensif diberikan dalam konsep pelatihan maupun ekstrakurikuler yang diwajibkan. Kurikulum perguruan tinggi yang saat ini sangat mengkuti permintaan pasar selayaknya digagas ulang. Karena mental kader yang terbentuk dari pembelajaran yang sangat formal dan eksak tersebut akan sarat dengan apatisme dan individualitas. Nilai kebangsaan diberikan dengan menumbuh suburkan kegiatan positif di lembaga pendidikan pada  peringatan hari-hari besar Negara. Kegiatan seremonial dalam hari kemerdekaan, kebangkitan bangsa, sumpah pemuda, hari kartini, dan lainnya perlu digalakkan untuk membangun rasa kebanggan.
Dalam bidang non formal, nilai ketuhanan dan kebangsaan diberikan secara berkelanjutan dalam media informasi dan komunikasi. Termasuk mengontrol nilai tayangan telivisi yang saat ini kian memprihatinkan. Menggerakkan rumah ibadah untuk mengadakan kegiatan yang melibatkan kepemudaan. Mengagas sekolah-sekolah terbuka bagi anak yang tidak mampu. Aktifitas organisasi kepemudaan termasuk yang resmi atau tidak resmi perlu mendapat perhatian dan arahan. Kegiatan diarahkan berupa memperbanyak aktivitas sosial, penggalian karya, serta kretifitas untuk dapat diberdayakan.
Dengan adanya gerakan kaderisasi generasi muda berbasis nilai ketuhanan dan kebangsaaan ini diharapkan Indonesia melahirkan generasi muda yang mempunyai moral yang baik. Dengan begitu, setidaknya akan menghilangkan budaya korupsi yang telah membudaya dari lapisan terendah sampai yang tertinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar