Halaman

Kamis, 14 Juni 2012

IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM MULTI PARTAI DAN PRESIDENSIALISME TERHADAP EFEKTIVITAS PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA


IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM MULTI PARTAI DAN PRESIDENSIALISME TERHADAP EFEKTIVITAS 
PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Partai politik merupakan kelompok atau organisasi yang bertujuan mengamankan dan memelihara penguasaan para pemimpinnya atas suatu pemerintahan yang memiliki visi dan misi sama guna memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara. Keberadaan partai politik tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi. Partai politik merupakan pilar utama demokrasi karena pucuk kendali roda pemerintahan yang ada di tangan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Artinya hak tersebut secara eksklusif hanya diberikan oleh konstitusi kepada partai politik.
Dalam proses demokratisasi, partai politik memiliki peran yang sangat penting, karena selain sebagai stuktur kelembagaan politik, mereka juga merupakan wadah penampung aspirasi rakyat. Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Pada perkembangannya saat ini, sistem multi partai kemudian dipilih menjadi sistem demokrasi yang tepat untuk negara Indonesia yang plural dan multikultural. Penerapkan sistem banyak partai atau multipartai merupakan sebuah refleksi dari kemerdekaan bertindak dan berekspresi. Dengan berlakunya UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik memberikan sebuah kebebasan bagi warga negaranya untuk mendirikan partai politik sebagai sebuah bentuk kebebasan berekspresi dan bertindak sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Indonesia diakui sebagai negara yang berhasil melakukan sistem multipartai, termasuk melakukan Pemilu secara demokratis. Namun demikian, Presidensialisme dan sistem multipartai adalah sebuah “kombinasi rumit dan berbahaya” bagi stabilitas demokrasi. Mengapa demikian?. Karena partai-partai politik di Indonesia kerap diperhadapkan dengan problem pengembangan institusionalisasi partai politik. Padahal banyaknya partai politik yang tampil sebagai kontestan pilkada dan pemilu merupakan partai-partai politik yang akar idiologinya berkutat pada tiga idiologi yang sama: nasionalis-sosialis, nasionalis-religius, dan sosialis-religius.
Sebagaimana data komparasi Mainwaring, dari 25 negara yang berhasil menjaga stabilitas demokrasinya pada tahun 1959-1989, di antaranya hanya 4 negara presidensial (Amerika Serikat, Venezuela, Kosta Rika dan Kolumbia), sementara 18 negara lainnya adalah parlementer. Keempat negara yang menganut sistem presidensial itu memiliki tingkat fragmentasi partai yang relatif rendah dengan hanya dua sampai dengan tiga partai yang efektif (Mainwaring, 1993; 102).
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana penerapan sistem multipartai dan presidensialisme dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia ?
2.      Bagaimana dampak dari penerapan sistem multipartai dalam proses demokratisasi di Indonesia?
C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan penulisannya adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui penerapan sistem multipartai dan presidensialisme dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia
  2. Mengetahui sejauh mana dampak dari penerapan sistem multipartai dalam proses demokratisasi di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penerapan Sistem Multipartai Dan Presidensialisme Dalam Pelaksanaan Demokrasi Di Indonesia
Demokrasi akan selalu ditandai dengan adanya partai politik sebagai barometer dari sebuah demokrasi yang berjalan di suatu negara begitu pula di Indonesia. Indonesia menganut sistem multi partai, dengan sistem pemilu yang berlaku maka semua partai itu punya peluang mendapat kursi baik di DPR maupun DPRD. Upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Hal ini mengingat Electoral Treshold (ET) tidak dijalankan secara konsekuen. Dengan konsep ET yang lama (meski banyak dikritik) hanya 7 parpol lama yang langsung lolos. Ketentuan itu telah dianulir dalam Pemilu No.10/2008. Sehingga sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan di isi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol bersatu tergantung pada isyunya.
Yang sering kita lihat saat ini adalah persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan gubernur. Kasus Maluku Utara jadi contoh paling jelas. Salah satu pasangan didukung oleh partainya Presiden yakni Partai Demokrat. Pasangan lainnya didukung oleh Partainya Wakil Presiden yakni Partai Golkar dan PAN. Keempat partai ini sama-sama mengisi kabinet di pusat. Kondisi yang sama berlangsung di provinsi dan kabupaten/kota di provinsi tersebut. Begitu juga antar daerah. Satu parpol di satu provinsi berkoalisi dengan parpol lain yang menjadi lawannya di provinsi yang berbeda. Terlihat jelas dari semua paparan di atas. Sistem kita dibangun lebih banyak atas kepentingan pragmatis, bersifat temporer, dan tidak konsisten.
Masalah jumlah ideal parpol sudah menjadi perdebatan sejak awal kemerdekaan. Setelah proklamasi negara Republik Indonesia dibacakan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pecah ketidaksepakatan di antara founding fathers soal jumlah ideal parpol. Sebagian ingin menganut sistem monopartai (partai tunggal) dan lainnya menghendaki sistem multipartai (banyak partai). Sejak 3 November 1945 Indonesia memilih sistem multipartai.
Pengalaman Orde Baru memperlihatkan kegagalan sistem dwipartai yang tidak murni untuk menyehatkan iklim politik. Kondisi coba diperbaiki oleh para tokoh reformasi dengan cara memberlakukan kembali sistem multipartai yang nyaris terlupakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, penerimaan kembali sistem multipartai merupakan prestasi yang biasa. Para tokoh reformasi berhasil menghapus memori negatif generasi Orde Baru terhadap sistem multipartai. Bahkan harapan rakyat terhadap sistem multipartai meningkat sangat tinggi karena dipercaya sebagai obat mujarab untuk memperbaiki keadaan. Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sedangkan untuk memilih Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik berwakil banyak. Sistem Pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh partai politik (parpol) lebih dikenal oleh pemilihnya. Namun sudah tiga kali Pemilu (1999, 2004, dan 2009), harapan itu tidak kunjung tiba. Beberapa survei memperlihatkan penurunan kepercayaan rakyat terhadap sistem multipartai. Kadar penurunannya belum sebesar dekade pasca-Pemilu 1955 (Hestu, 2005; 7).
Yang menjadi dasar keberadaan sistem kepartaian, lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi: (1) Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda, (2) Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih (Ben Reilly,1999; 25).
Dalam sistem presidensial yang berdasarkan sistem multipartai, bila tidak ada partai politik yang meraih suara mayoritas di parlemen, koalisi merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. Ia bisa dikatakan sebagai suatu keniscayaan. Bila tidak, kemungkinan efektivitas pemerintahan akan terganggu. Karena itu, koalisi merupakan ”jalan penyelamat” bagi sistem pemerintahan presidensial yang menganut sistem multipartai. Dalam bahasa Arend Lijphart, model seperti ini merupakan bagian dari demokrasi konsensual.
Di dunia ini, selain Indonesia, hanya ada satu negara, Cile, yang bertahan dengan sistem presidensialisme dan multipartai. Karena itu, banyak yang mendukung penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia, dengan mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu. Tujuannya agar pemerintahan bisa lebih efektif dan stabil.
Jika ditelusuri, gabungan presidensialisme dan sistem multipartai tidak sefatal seperti yang diperkirakan. Berbagai pendapat tentang ketidakcocokan antara sistem multipartai dan presidensialisme mengacu studi Scott Mainwaring (1993). Mainwaring menunjukkan, dari seluruh demokrasi di dunia, hanya Cile yang mampu mengawinkan secara stabil presidensialisme dengan sistem multipartai. Menurut Mainwaring, penggabungan presidensialisme dengan multipartai berpotensi menyebabkan kebuntuan dan instabilitas pemerintah.
Potensi buntu lebih besar dalam sistem multipartai presidensial dibandingkan multipartai parlementer karena di dalam sistem presidensialisme yang multipartai jarang sekali presiden terpilih didukung mayoritas pemegang kursi parlemen sehingga jumlah oposisi di parlemen sering lebih besar dibandingkan partai pendukung presiden. Pertanyaannya, bukankah bisa dibangun koalisi untuk mendukung presiden?
Koalisi pendukung presiden dalam sistem presidensialisme tidak stabil. Karena, pertama, koalisi pemerintahan dan elektoral sering berbeda. Dalam koalisi pemerintahan, parpol tidak bertanggung jawab menaikkan presiden dalam pemilu sehingga parpol cenderung meninggalkan presiden yang tidak lagi populer. Kedua, pemilu presiden selalu ada di depan mata sehingga partai politik berusaha sebisa mungkin menjaga jarak dengan berbagai kebijakan presiden, yang mungkin baik, tetapi tidak populis. Alasan ketidakcocokan ketiga, kemungkinan jatuhnya pemerintah secara inkonstitusional. Besarnya peluang pergantian pemerintah secara inkonstitusional amat relatif karena dalam sistem presidensialisme amat sulit menurunkan presiden terpilih. Karena itu, pihak-pihak yang tidak puas dengan kinerja pemerintah cenderung menggunakan jalur inkonstitusional untuk mengganti pemerintahan.
Kekhawatiran itu belum ditemukan di Indonesia. Meski hubungan antara eksekutif dan legislatif tak sepenuhnya mulus, eksekutif tetap berhasil meloloskan aneka kebijakan terpentingnya. Ada dua alasan utama mengapa kita tidak perlu terlalu takut dengan sistem multipartai presidensial di Indonesia. Pertama, sistem multipartai presidensial mempunyai potensi dan aspek positif. Artinya, tingginya tingkat kompetisi antarpartai mendorong parpol bekerja lebih keras guna menarik suara, semakin banyak pilihan parpol untuk publik, dan kian stabilnya pemerintah karena presiden tidak mudah dijatuhkan parlemen seperti awal masa reformasi di Indonesia. Kedua, studi Mainwaring tentang ketidakefektifan dan ketidakstabilan sistem multipartai presidensial diperbaiki Jose Antonio Cheibub (2007) dalam studinya tentang presidensialisme dan kepartaian. Cheibub menunjukkan, hubungan antara sistem pemerintahan dan kepartaian tidak sesederhana yang disebut Mainwaring.
Menurut studi Cheibub, sistem parlementer multipartai terlihat lebih efektif dalam proses legislasinya karena perdana menteri dalam sistem parlementer yang ada di bawah ancaman pemakzulan amat berhati-hati dalam mengajukan usulan kebijakan atau undang-undang. Sementara itu, dalam sistem presidensialisme, presiden tidak perlu terlalu takut mengajukan kebijakan karena tidak ada ancaman pemakzulan yang serius dari parlemen. Karena itu, persentase keberhasilan meloloskan undang-undang jauh lebih tinggi pada sistem multipartai parlementer dibandingkan sistem multipartai presidensial.
Cheibub menemukan, ketika faktor seperti umur dari demokrasi atau pendapatan per kapita dimasukkan dalam perhitungan dan analisis, koalisi dari pemerintahan tidak lagi berpengaruh terhadap keefektifan proses legislasi. Cheibub juga menyimpulkan, resiko instabilitas suatu pemerintah, baik presidensial maupun parlementer, tidak dipengaruhi oleh apakah pemerintah itu satu, dua, atau multipartai.
Pengurangan jumlah partai politik tidak perlu dipaksakan. Sistem kepartaian yang lebih sederhana tanpa disertai kedewasaan politik elite dan publik belum tentu membuat pemerintahan lebih efektif dan stabil. Masing-masing elite politik mempunyai kepentingan dan akan berusaha memperoleh kepentingannya. Sementara itu, publik yang secara politik belum dewasa akan mudah diperalat elite untuk ”menggoyang” pemerintah. Yang diperlukan Indonesia bukan pengurangan jumlah parpol, tetapi pendidikan politik yang berkualitas dan reformasi parpol sehingga aktor demokrasi Indonesia makin dewasa secara politik. Yang dimaksud dewasa adalah mempunyai pengetahuan politik yang cukup, mempunyai akses informasi politik yang memadai, memiliki kemampuan bernegosiasi dan bermufakat dalam kerangka peraturan yang ada, serta mengindahkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi yang didasarkan kesadaran bahwa kepentingan jangka panjang individu bergantung pada kepentingan publik. Jumlah partai politik akan berkurang sampai pada jumlah yang tepat sejalan peningkatan kedewasaan politik para elite dan publik.
Berbicara tentang koalisi pemerintahan di Indonesia. Dalam ilmu politik, secara garis besar koalisi dikelompokkan atas dua. Pertama, policy blind coalition, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan, tetapi untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking). Kedua, policy-based coalition, yaitu koalisi berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasi (policy seeking). Kecenderungan yang terjadi dalam era Reformasi ini, format koalisi yang dibangun adalah bentuk yang pertama. Koalisi tidak berdasarkan pertimbangan kebijakan, melainkan hanya untuk meraih kekuasaan. Koalisi yang dibentuk lebih didasarkan pada pragmatisme politik.
Memang ada sisi positif dalam koalisi yang selama ini dibentuk, yakni runtuhnya ”sekat-sekat ideologis”. Koalisi seperti ini merupakan bentuk koalisi pragmatis dan jangka pendek. Mereka bergabung hanya untuk kepentingan kekuasaan ansich. Dengan fondasi seperti ini, tidak aneh bila di antara pendukung koalisi itu sendiri terjadi perbedaan pandangan dalam mengusung suatu kebijakan.
Dalam konteks itu, acap parpol pendukung koalisi dengan tanpa merasa bertanggung jawab sebagai bagian dari koalisi tidak merasa bersalah menentang kebijakan pemerintah. Itulah realitas yang terjadi. Memang dalam koalisi di mana pun, bagi-bagi kekuasaan tidak bisa dihindari. Namun, dengan fokus pada platform, pengejaran kekuasaan akan digiring ke arah yang menguntungkan rakyat. Sudah saatnya partai-partai duduk bersama membicarakan program-program membangun bangsa ini ke depan agar lebih baik dari sekarang. Keinginan untuk melakukan terobosan terhadap penguatan sistem presidensialisme Indonesia sekaligus pelembagaan sistem kepartaian, melalui pembentukan koalisi parpol yang lebih permanen. Kedua dari sisi substansi, sudah selayaknya untuk diberikan apresiasi.

B.     Dampak Penerapan Sistem Multipartai Dalam Proses Demokratisasi Di Indonesia
Perihal dampak pemberlakuan sistem multipartai yang berlebihan seperti di Indonesia yang jumlahnya mencapai 34 partai hingga menjelang pemilu tahun 2009 juga pada akhirnya memberikan dampak buruk,  baik bagi kinerja eksekutif maupun legislatif. Pada tubuh eksekutif, dampak buruk tersebut dapat dilihat pada menurunnya kinerja pemerintahan dengan mengajukan sebuah survey putaran III yang dilakukan oleh Reform Institute terhadap 2500 responden, dan hasilnya menyatakan bahwa rata-rata keberhasilan pemerintahan Kabinet SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)-Yusuf Kalla dibawah 50 persen. Sistem multipartai yang diterapkan di negara-negara berkembang khususnya dalam konteks Indonesia yang memiliki jumlah partai politik luar biasa, pada realitanya relatif menumbuhkan instabilitas dibandingkan dengan negara yang menerapkan multipartai namun dengan jumlah yang rasional atau di negara yang menganut sistem dua partai.
Dampak multi partai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat "Decision Making" berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara Eksekutif dan Legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran Legislatif lebih dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bias dengan kepentingan primordial masing-masing. Menyamakan visi dan misi dari partai-partai, dengan ideologi dan kepentingan yang sangat mendasar perbedaannya akan sangat sulit dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai oposisi yang selalu menentang pemerintah misalnya; masalah politik LN Indonesia terhadap program nuklir Iran. Lain halnya dengan masalah Rancangan UU Kamnas, DPR lebih bersikap apatis.
Scott Mainwaring mengatakan bahwa sistem multipartai dalam konteks sistem pemerintahan presidensial lebih akan menimbulkan berbagai macam masalah dibandingkan dengan sistem parlementer dengan sistem multipartai yang dianut. Sistem multipartai pada sistem presidensial pada realitanya akan mendatangkan instabilitas pemerintahan. Instabilitas tersebut pada tataran lain disebabkan oleh sistem presidensial yang menerapkan “winner takes all” yang berarti eksekutif pemenang pemilu presidensial akan sepenuhnya memegang kendali kebijakan dan tentunya terdapat “bargaining politics” terhadap partai yang pernah mendukung presiden tersebut yang kemudian ditambah dengan adanya batasan waktu “Fixed Time” dari seorang presiden dalam memimpin, sehingga stabilitas demokrasi dan pemerintahan bukan menjadi isu utama namun justru bagaimana membagi-bagikan kekuasaan kepada partai yang telah mendukung. Hal ini tentu berbeda pada system parlementer, meskipun pada kondisi yang serupa (multipartai) namun dalam sistem parlementer adalah parlemen yang kemudian memilih perdana menteri atas persetujuan partai yang berkoalisi dan tidak terbatas oleh waktu, sehingga kestabilan akan terjaga dan hal ini juga disebabkan partai yang ada di parlemen bertanggung jawab terhadap kinerja pemerintahan eksekutif yang tentunya berbeda dengan sistem presidensial dimana partai politik tidak perduli terhadap kinerja eksekutif, namun mereka lebih mementingkan posisi dan kepentingan partai-partai tersebut sehingga dapat diakomodir. Oleh karenya hal tersebut sejalan dengan pernyataan Lijphart yang menyatakan bahwa “Mechanisms for sharing executive power are generally less developed in presidential systems”.
Terkait dengan argumentasi Lijphart, maka terdapat beberapa perbedaan mendasar mengenai sistem multipartai dengan sistem presidensial dan parlementer serta efektifitasnya dalam mempertahankan stabilitas.
Pertama, dalam sistem parlementer partai yang ada membentuk pemerintahan dan menunjuk kabinet dan perdana menteri, sedangkan dalam sistem presidensial tanggungjawab tersebut berada sepenunya pada presiden yang kemudian presiden dituntut untuk mengakomodir berbagai kepentingan dari partai-partai yang mendukungnya dan dilain pihak partai-partai tersebut tidak bertanggungjawab terhadap kinerja pemerintahan.
Kedua, dalam sistem parlementer individu atau anggota perwakilan rakyat harus mendukung dan mengakomodasi presiden dalam segala kebijakan, kecuali partai tersebut menarik dukungan kepada presiden, karena jika tidak seperti itu maka individu tersebut akan kehilangan kursinya di dewan perwakilan. Berbeda dengan yang berlaku di dalam sistem presidensial tidak seperti bagaimana yang berlaku di sistem parlementer.
Ketiga, hal yang paling kentara membedakan antara sistem parlementer dan presidensial, pada sistem parlementer masalah tanggung jawab partai untuk mendukung eksekutif dalam setiap kebijakan, koalisi partai biasanya terjadi setelah pemilihan dan mereka terikat dalam suatu komitmen untuk mendukung pemerintahan. Adapun dalam sistem presidensial koalisi pemerintahan terjadi setelah pemilihan dan mereka tidak terikat untuk beratanggung jawab terhadap kinerja pemerintahan setelah pemilihan umum.
Ketiga perbedaan tersebut merupakan satu fenomena khusus dimana sebenarnya sistem multipartai kurang akan berjalan secara kondusif apabila dijalankan di dalam sistem presidensial, meskipun tidak menutup kemungkinan akan terjadi instabilitas politik pula dalam sistem parlementer apabila jumlah partai terlampau banyak dalam hal kuantitas. Beralih pada konteks Indonesia dampak dari sistem multipartai apalagi jika mengacu kepada teori Scott Mainwaring maka tentunya baik di ranah dewan perwakilan maupun eksekutif, aspirasi yang akan diperjuangkan terlebih dahulu adalah kepentingan partai politk, sehingga kepentingan rakyat adalah urusan yang dianggap kepentingan residua tau kepentingan sisa yang diakomodir setelah kepentingan partai politik terpenuhi.
Fenomena tersebut tentu secara normatif bertentangan dengan kaidah dan fungsi partai politik sebagai salah satu institusi yang lahir untuk menjembatani kepentingan masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya kepada pemerintah. Ketika mereka sudah berada pada sebuah dewan perwakilan rakyat secara otomatis keterwakilan mereka adalah ditujukan untuk rakyat sepenuhnya dan bukan untuk partai ataupun golongan lainnya. Seperti yang diungkapakan oleh Mac Iver dengan merujuk pandangan Nicholas yang seorang tokoh pada abad ke 15 bahwa partai politik sebagai kendaraan politik paling utama dalam demokrasi modern bermaksud untuk mengorganisasikan pendapat masyarakat tentang Negara dan memperjuangkan melalui partai politik, namun ketika mereka telah bearada di parlemen maka mereka adalah secara utuh wakil dari rakyat (in uno Compendio repraesentivo).
Dengan sistem yang bergulir di Indonesia saat ini maka setidaknya ada beberapa permasalahan yang antara lain :
  1. Upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Hal ini mengingat Electoral Treshold (ET) tidak dijalankan secara konsekuen. Dengan konsep ET yang lama (meski banyak dikritik) hanya 7 parpol lama yang langsung lolos. Ketentuan itu telah dianulir dalam Pemilu No.10/2008. Sistem ET yang baru yang disebut Parliamentary Treshold (PT) yakni hanya partai yang meraih 2,5 persen suara sah saja yang punya wakil, ternyata dijalankan dengan tidak konsisten yakni hanya untuk DPR saja, sementara DPRD tidak. Dengan demikian banyak partai masih tetap memaksa berdiri paling tidak mendapat kursi di DPRD.
  2. Sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di kabinet.
  3. Terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama.
Terlihat jelas dari semua paparan di atas. Sistem kita dibangun lebih banyak atas kepentingan pragmatis, bersifat temporer, dan tidak konsisten.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Pada dasarnya Presidensialisme dan sistem multipartai adalah sebuah “kombinasi rumit dan berbahaya” bagi stabilitas demokrasi. Tetapi gabungan presidensialisme dan sistem multipartai tidak sefatal seperti yang diperkirakan. Cheibub menemukan, ketika faktor seperti umur dari demokrasi atau pendapatan per kapita dimasukkan dalam perhitungan dan analisis, koalisi dari pemerintahan tidak lagi berpengaruh terhadap keefektifan proses legislasi. Cheibub juga menyimpulkan, risiko instabilitas suatu pemerintah, baik presidensial maupun parlementer, tidak dipengaruhi oleh apakah pemerintah itu satu, dua, atau multipartai.
Pengurangan jumlah partai politik tidak perlu dipaksakan. Sistem kepartaian yang lebih sederhana tanpa disertai kedewasaan politik elite dan publik belum tentu membuat pemerintahan lebih efektif dan stabil. Yang diperlukan Indonesia bukan pengurangan jumlah parpol, tetapi pendidikan politik yang berkualitas dan reformasi parpol sehingga aktor demokrasi Indonesia makin dewasa secara politik.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kombinasi antara sistem multipartai dan presidensial yang diterapkan di Indonesia saat ini menimbulkan masalah seperti: jumlah partai sulit di kendalikan  sehingga banyak kepentingan didalamnya, Sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas, Terwujudnya persaingan dan kerjasama antar parpol yang tidak jelas.
B.     SARAN
Sistem multipartai sebenarnya sah-sah saja jika diterapkan pada negara yang menganut sistem presidensial seperti di negara Indonesia ini. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah dengan banyaknya partai politik yang ada di Negara ini sebaiknya tidak mementingkan kepentingan dari masing masing partai melainkan yang harus diutamakan adalah kepentingan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshidiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jilid II. Konstitusi Press. Jakarta. hlm.153.
Scott Mainwaring. 1990. Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficult Equation, Working Paper, Kellog Institute Notere Dame University. hlm.21.
Lijphart, Arend. 1968. Typologies of Democratic System, a Comparative Political Studies Vol 1. No.1, tanpa penerbit. hlm. 3-44.
Epstein  Leon. 1964. a Comparative Study of Canadian Parties, American Political Science Review 58 No. 1. hlm.46-49.
Scott Mainwaring, Op,Cit., hlm.24.
R.M Mac Iver. 1958. The Web of Government. MacMillan. Newyork. hlm.208.

Anonim. 2011. Akibat Pengaruh Buruknya Demokrasi Dalam Pemilu 2009 Terhadap Pertumbuhan Sistem Demokrasi Di Indonesia. Online (http:// indonesianmindset.blogspot.com). Diakses tanggal 25 Mei 2012.


Anonim. 2009. Penerapan Sistem Multipartai Dalam Kerangka Negara Demokrasi; Studi Perbandingan Sistem Kepartaian di Republik Indonesia dan Amerika Serikat. Online (http://zaymuttaqin.wordpress.com). Diakses tanggal 25 Mei 2012.






Senin, 16 April 2012

hukum nasional dan hukum internasional

-->
UJI KOMPETENSI PERTAMA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL

Presiden Irak Sadam Husein yang ditangkap oleh tentara AS (sekutu) dan kemudian diadili di Baghdad karena dianggap melanggar hukum internasional dan kemudian di vonis MATI. Menggambarkan fenomena praktek hukum internasional.

PERTANYAAN :
1.      Bagaimana kedudukan hukum nasional Irak terhadap Hukum Internasional?.
2.      Mengapa yang harus bertanggungjawab pribadi Sadam Husein?. Kenapa bukan Negara Irak sebagaimana yang disebut sebagai subyek hukum ?.
3.      Apakah materi hukum internasional di sekolah sudah  bisa mencapai kompetensi yang dituntut?

JAWABAN :
  1. Kedudukan Hukum Nasional Irak Terhadap Hukum Internasional
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum internasional yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara.
Menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori ini, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional.  Hukum nasional  tunduk dan harus  sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26).
Dari teori Monisme diatas dapat dilihat bahwa hukum internasional cukup memiliki kewibawaan terhadap hukum nasional. Hal ini seperti yang dialami Negara Irak baru-baru ini. Ketika Negara Irak di bawah pimpinan Presiden Saddam Husein  menganeksasi Negara Kuwait dan melakukukan pembunuhan massal terhadap ras (kejahatan genosida), maka muncullah reaksi dari hukum internasional yang menundukan hukum nasional Irak. Hukum Internasional  memberikan  implikasi  hukum  bagi  para pelangarnya,  yang  dimaksud  implikasi  disini  ialah  tanggung  jawab secara Internasional dari pemimpin negara Irak terhadap tindakan yang dilakukan militer Irak (dibawah kepemimpinan Saddam Husein) kepada Negara Kuwait.
Hukum Internasional menjatuhkan hukuman terhadap Saddam Husein dan dalam hal ini hukum nasional tidak dapat menghentikannya karena memang apa yang dilakukan presiden Irak tersebut telah melanggar hukum internasional dan. Meskipun demikian, tindakan AS menyerang Irak tanpa alasan yang disepakati PBB dan dunia internasional juga tidak bisa dibenarkan karena tidak hanya etika global yang dilanggar, tapi juga kedaulatan Irak dan hukum internasional.
Dalam konteks ini, meskipun pada dasarnya Hukum internasional tidak akan tunduk oleh kekuasaan apapun tetapi dalam masalah ini dapat dilihat bahwa hukum internasional seperti tunduk dengan Negara AS karena Amerika adalah penyumbang dana terbesar dari PBB sebesar 25% sementara negara-negara yang sedang berkembang rata-rata hanya 0,01%. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil hukum internasional.
Diluar dominasi Amerika Serikat terhadap hukum internasional, tidak bisa dipungkiri bahwa Hukum Internasional kedudukannya diatas Hukum Nasional Irak dalam konteks internasional karena pada dasarnya Negara irak dibawah kepemimpinan Saddam Husein telah melanggar hukum internasional yang telah disepakati berbagai negara. Apapun bentuk hukum nasional dan konstitusi Negara Irak tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk menyimpangi perjanjian internasional atau melanggar aturan internasional.

  1. Pertanggungjawaban Pribadi Saddam Husein Bukan Negara Irak
Pada tanggal 2 Agustus 1990, Presiden Irak Saddam Husein memerintahkan pasukannya menyerang Kuwait dan menetapkan Kuwait sebagai Provinsi Irak yang ke-19. Saddam kembali menggunakan legitimasi historis, yakni era dinasti Ottoman, untuk mempertahankan klaimnya atas Kuwait, dimana saat itu Kuwait adalah bagian dari negeri Irak. Iahirlah idealisme Saddam yang dinilai kontroversial. Saddam Hussein berhasil menundukkan militer berkat kecerdikannya menempatkan orang-orang yang tidak diragukan loyalitasnya dan mendepak orang-orang yang dicurigai tidak loyal. Lembaga militer Irak pun pada era Saddam Hussein beralih menjadi lembaga yang lebih membela dan melindungi kekuasaan Saddam Husein di Baghdad. Saddam Hussein yang berasal dari sipil menguasai sepenuhnya lembaga militer di negeri itu.
Invansi terhadap Kuwait yang dilakukan oleh Presiden Irak Saddam Husein melalui pasukan militernya dianggap telah melanggar hukum Internasional. Dalam hal ini, bukan Negara Irak yang notabanenya sebagai subjek hukum yang dijatuhi hukuman  melainkan Saddam Huseinlah yang dimintai pertanggung jawaban. Mengapa demikian?. Hal ini dikarenakan Saddam Husein dianggap sebagai dalang atau orang yang memerintahkan pasukannya untuk melakukan pelanggaran HAM, dan didalam penegakan hukum hak asasi internasional meletakkan individu sebagai subyek hukum, tidak hanya sebagai pemilik hak tapi juga pemikul tanggung jawab, melalui sebuah konsep yang disebut sebagai individual criminal responsibility, serta konsep command responsibility.
Sesuai dengan asas hukum pidana internasional sebagaimana terdapat didalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 yang diformulasikan pada tahun 1950 dalam Principle III menyatakan bahwa:
 “The fact that a person who committed an act which constitutes a crime under international law acted as a Head of State or responsible Government official does not relieve him from responsibility under international law. (suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional bertindak sebagai kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab tidaklah membebaskan yang bersangkutan dari pertanggung jawaban berdasarkan hukum internasional).
Jika perbuatan dari kepala negara, kepala pemerintah, ataupun pejabat negara yang berwenang itu merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana berdasarkan hukum internasional (crimes under international law) maka tidak bisa menghindarkan diri dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional dengan berlindung dibalik jabatannya maupun negaranya, dia tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum internasional dihadapan badan peradilan pidana internasional, dengan asalan ia sebagai individu yang melakukan kejahatan tersebut (meskipun dengan mengatasnamakan jabatan atau negaranya).
Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban yang dituntut oleh hukum internasional terhadap saddam husein itu dianggap sudah sesuai dengan penegakan hukum hak asasi manusia dan asas hukum pidana internasional.

  1. Materi Hukum Internasional Di Sekolah Sudah  Bisa Mencapai Kompetensi Yang Dituntut?
Menurut pendapat saya, Materi hukum internasional disekolah belum bisa dikatakan mencapai kompetensi yang dituntut. Mengapa demikian?. Karena materi hukum internasional disekolah kurang bisa mengartikan kata menganalisis yang ada di dalam kompetensi serta materi yang diberikan hanya sekedar teori teorinya saja tanpa memberikan contoh yang konkrit mengenai praktek-praktek hukum internasional itu sendiri. Dalam hal ini bisa dilihat dalam SKLA Mengevaluasi hubungan Internasional dan Sistem Hukum Internasional SK Menganalisis hubungan Internasional dan organisasi internasional, KD menganalisis fungsi perwakilan diplomatik. Materi pokok mengenai KD tersebut hanya menjelaskan atau mendiskripsikan fungsi perwakilan diplomatik dalam teorinya tidak terus mengkaji secara mendalam. Kalau kita telaah lebih dalam lagi tentang kata menganalisis, jelas materi pokok tersebut belum mencapai kompetensi yang dituntut. Apabila lebih memaknai kata menganalisis maka seharusnya materi pokoknya ditambah dengan materi yang lebih komplek agar nantinya siswa dapat menemukan pertanyaan-pertanyaaan mengapa harus ada perwakilan diplomatik?, bagaimana perwakilan diplomatik itu melaksanakan tugasnya?, Apakah dalam menjalankan fungsinya sebagai diplomatik sudah sesuai dengan teori yang telah dijelaskan?, Apabila tidak mengapa demikian?, Apakah dalam menjalankan tugasnya mengalami kendala?, dll. Jadi dengan adanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu maka siswa dapat menganalisis materi pokok tersebut sekaligus dapat mencapai kompetensi yang dituntut.
Selain yang telah dipaparkan diatas masih ada materi pokok yang belum mencapai kompetensi yang dituntut. Hal ini bisa kita lihat pada Materi pokok mengenai SKLA Menganalisis sistem hukum Internasional, timbulnya konflik Internasional dan mahkamah Internasional, SK Menganalisis sistem hukum dan peradilan Internasional, dan KD yang ada di SK. KD yang telah dirancang itu dirasa tidak memenuhi apa yang ada pada SK. Padahal SK jelas-jelas merumuskan kata menganalisis sedangkan di KD hanya mengatakan mendiskripsikan, menjelaskan dan menghargai. Disini kita dapat melihat bahwa tidak terjadi sinkronisasi antara SK dengan KD. Menurut saya, ketidaksinkronan ini menyebabkan materi pokoknya juga tidak dapat mencapai kompetensi yang dituntut. Didalam SKLA telah disebutkan menganalisis sistem hukum Internasional, timbulnya konflik Internasional dan mahkamah Internasional maka seharusnya didalam materi pokoknya dijelaskan mengenai sistem hukum internasional apa, konflik internasional itu seperti apa, kemudian bagaimana mahkamah internasional itu menjalankan fungsinya dalam menyelesaikan konflik. Alangkah baiknya apabila didalam materinya tidak hanya menyangkut teorinya saja tetapi diberikan contoh nyata mengenai praktek-praktek hukum internasional seperti memberikan contoh sengketa dan konfliknya yang sedang menjadi berita aktual sekarang ini misalnya konflik antara Palestina dan Israel. Dari konflik tersebut yang harus dianalisis adalah mengenai mengapa konflik antara Israel dan palestina tersebut bisa terjadi dan faktor-faktor apa yang melatarbelakanginya?, penyelesaian konfliknya bagaimana?, serta bagaimana peran mahkamah internasional dalam menangani masalah internasional tersebut. Dengan demikian, nantinya siswa tidak hanya mengetahui mengenai teori dari materi hukum internasional tetapi siswa juga bisa mengembangkan kekritisan mereka dalam hal menganalisis masalah-masalah hukum internasional yang terkait dengan kompetensi yang dituntut.


Daftar Pustaka

Anonim. 2009. Asas Asas Hukum Pidana Internasional. Online. (http:// karmawasana.blogspot.com/2011/05/asas-asas-dari-hukum-pidana.html). Diakses tanggal 29 februari 2012.

Anonim. 2011. Kebijakan Luar Negeri Saddam Hussein Terkait Invasi Irak Ke Kuwait Tahun 1990: Studi Peringkat Analisis Individu. Online. (http://www.thefamouspeople.com/profiles/saddam-hussein-95.php.) Diakses tanggal 29 februari 2012.

 




HUKUM TATA NEGARA

-->
HUKUM TATA NEGARA

A.    Pengertian Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara disebut juga Hukum Negara (Staatsrecht), yang berarti Hukum Tata Negara dalam arti luas (staatrecht in ruimere zin). Istilah hukum negara dimasudkan untuk membedakan arti Hukum Tata Negara dalam arti sempit (staatrecht in engere zin). Hukum Tata Negara dalam arti luas atau Hukum Negara termasuk di dalamnya Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata usaha Negara atau Hukum Tata Pemerintahan (Administratief recht). Sedangkan Hukum Tata Negara dalam arti sempit meliputi Hukum Tata Negara itu sendiri, yaitu hukum tata suatu negara  tertentu yang berlaku pada waktu tertentu (hukum tata negara positif dari suatu negara).
Di Inggris untuk menyebut Hukum Tata Negara pada umunya digunakan istilah Constitusional Law, Dasar pengggunaan istilah ini adalah bahwa dalam hukum tata negara unsur konstitusi lebih menonjol. Istilah lain dari Constitusional Law adalah State Law yang didasarkan atas perkembangan bahwa hukum negaranya lebih penting.
Diantara para ahli hukum, dapat dikatakan tidak ada rumusan yang sama tentang definisi hukum dan demikian pula dengan definisi hukum tata negara sebagai hukum dan sebagai cabang ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan –perbedaan ini sebagian disebabkan oleh faktor faktor perbedaan pandangan diantara para ahli hukum itu sendiri dan sebagian lagi disebabkan oleh perbedaan sistem yang dianut oleh Negara yang dijadikan objek penelitian oleh sarjana hukum masing-masing. Misalnya dinegara Negara yang menganut tradisi common law tentu berbeda dari yang dipraktekkan dilingkungan negara-negara yang menganut tradisi civil law.
Berbagai pandangan para sarjana mengenai definisi hukum tata negara itu dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
1.      Van Vollenhoven
Hukum Tata Negara adalah Hukum Tata Negara yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat Hukum bawahan menurut tingkatannya dan dari masing-masing itu menentukan wilayah lingkungan masyarakatnya. Fungsi Masing-masing yang berkuasa di dalam lingkungan masyarakat hukum itu berhak menentukan susunan dan wewenang dari badan-badan tersebut.
2.      Scholten
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dari pada Negara. Kesimpulannya, dalam organisasi negara itu telah dicakup bagaimana kedudukan organ-organ dalam negara itu, hubungan, hak dan kewajiban, serta tugasnya masing-masing.
3.      Van der Pot
Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenang masing-masing, hubungannya satu dengan yang lain dan hubungan dengan individu yang lain.
4.      Logemann
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara. Jabatan merupakan pengertian Yuridis sedangkan fungsi adalah pengertian yang bersifat sosiologis. Karena negar merupakan organisasi yang terdiri dari fungsi-fungsi dan hubungannya satu dengan yang lain.  Secara Yuridis, negara merupakan organisasi dari jabatan-jabatan.
5.      Apeldoorn
Hukum Tata Negara Dalam arti sempit yang sama artinya dengan istilah hukum tata negara dalam arti sempit, adalah untuk membedakannya dengan hukum negara dalam arti luas , yang meliputi hukum tata Negara dan hukum administrasi negara itu sendiri.
6.      Wade and Phillips
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur alat-alat perlengkapan negara, tugasnya dan hubungan antara alat pelengkap negara itu. Dalam bukunya yang berjudul “ Constitusional law “ yang terbit pada tahun 1936 .
7.      Paton
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur alat-alat perlengkapan negara, tugasnya ,wewenang dan hubungan antara alat pelengkap negara itu. Dalam bukunya “ textbook of Jurisprudence “ yang merumuskan bahwa Constutional Law deals with the ultimate question of distribution of legal power and the fungcions of the organ of the state .
8.      A.V. Dicey
Hukum Tata Negara adalah hukum yang terletak pada pembagian kekuasaan dalam negara dan pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara. Dalam bukunya “ An introduction the study of the law of the consrtitution “
9.      Maurice Duverger
Hukum Tata Negara adalah salah satu cabang dari hukum privat yang mengatur organisasi dan fungsi-fungsi politik suatu lembaga nagara.
10.  Kusumadi Pudjosewojo
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara   (kesatuan atau federal), dan bentuk pemerintahan ( kerajaan atau republik), yang menunjukan masyarakat Hukum yang atasan maupunyang bawahan, beserta tingkatan –tingkatannya (hierarki), yang selanjutnya mengesahkan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasaan penguasa) dari masyarakat hukum itu,beserta susunan (terdiri dari seorang atau sejumlah orang), wewenang, tingkatan imbang dari dan antara alat perlengkapan itu.
  1. Prof. Mr. Ph Kleintjets
Hukum Tata Negara terdiri dari kaedah-kaedah hukum mengenai tata (Inrichting Hindia Belanda), alat perlengkapan kekuasaan negara (Demet Overheadsgezag), tata, wewenang (Bevoegdheden) dan perhubungan kekuasaan (Onderlinge Machtsverhouding) diantara alat-alat.
12.  Austin
Hukum tata Negara menentukan orang – orang tertentu atau golongan – golongan tertentu dari masyarakat yang memegang kekuasaan istimewa tertentu (Souvereign power) dalam negara.
Jadi dari definisi-definisi tersebut dapat di tarik kesimpulan:
Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal serta kedudukan warga negara dan hak-hak azasinya.

B.     Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Lain
1.      Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
Menurut Dasril Radjab, ilmu negara merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi dasar teoritis yang bersifat umum untuk HTN. Karenanya untuk mengerti hukum ketatanegaraan (HTN) harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan hal ikhwal secara umum tentang negara (Ilmu Negara). Dengan demikian Ilmu Negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis untuk HTN positif, dan HTN merupakan penerapan di dalam kenyataan bahan-bahan teoritis dari ilmu Negara.
Perbedaannya Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara dapat dilihat dari objek yang diselidiki. Obyek Penyelidik Ilmu Negara adalah assas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang Negara dan Hukum Tata negara pada umumnya. Obyek Hukum Tata Negara adalah Hukum Positif yang berlaku pada suatu waktu di suatu tempat. Bagi Ilmu negara yang penting adalah nilai teoritisnya, maka ilmu pengetahuan ini merupakan suatu “ Seinswissenschaft “ sedangkan Hukum Tata Negara dan hukum Administrasi merupakan suatu “ Normativen Wissenschaft “.
2.      Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik sangat dekat, sehingga dapat dikatakan batas-batas ketentuan yang telah digariskan sering diisi atau memerlukan pengisian dari garis politk. Misalnya:
a.       Terbentuknya UU (UUD atau UU organik lainnya) tentu diisi dengan kebijakan-kebijakan politik yang ditarik pada waktu penyusunannya, kita perhatikan Pembukaan suatu UUD disitu jelas akan mengetahui politik suatu negara. Begitu pula dengan amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR.
b.      Maklumat Wapres No. (X) 16 Oktober 1945 yang diikuti maklumat pemerintah 14 nopember 1945 yang terjadi di tanah air kita dimana Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat menyetujui perubahan pertanggungjawaban kepada BPKNI Pusat kedudukannya setaraf MPR-DPR vide aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945).
c.       Pembentukan suatu Undang-undang, ratifikasi yang dilakukan oleh DPR, diterima atau ditolak rancangan dipengaruhi oleh suara wakil rakyat yang ada dalam DPR sedangkan wakil rakyat yang duduk dalam DPR merupakan wakil dari organik-organik politik.
3.      Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara
Mengenai perbedaan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara terdapat banyak pendapat. Secara sederhana, Hukum Tata Negara membahas negara dalam keadaan diam sedangkan Hukum Administrasi Negara membahas negara dalam keadaan bergerak. Pengertian bergerak di sini memang betul-betul bergerak, misalnya mengenai sebuah Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan itu harus diserahkan/dikirimkan dari Pejabat Tata Usaha Negara kepada seseorang.
Para ahli hukum berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak terdapat perbedaan yang asasi, melainkan hanya karena manfaat saja. Hukum Administrasi Negara itu merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi dengan Hukum Tata Negara dalam arti sempit yang di sebut sebagai teori Residu.

C.    Ruang Lingkup Kajian Hukum Tata Negara
Dalam kepustakaan Belanda perkataan Staatsrecht, dalam bahasa istilah inggris dikenal dengan “constitusional law”, dalam bahasa prancis droit constitusionnel (hukum Tata Negara) mempunyai dua macam arti. Pertama, staatsrechtswetenschap (Ilmu Hukum Tata Negara) mempunyai obyek penyelidikan dan mempunyai metode penyelidikan, sebagaimana dikatakan Burkens, bahwa obyek penyelidikan Ilmu HTN adalah system pengambilan keputusan dalam negara sebagaimana distrukturkan dalam hukum (tata) positif. Seperti UUD (konstitusi),UU, peraturan tata tertib berbagai lembaga-lembaga negara.
Kedua, positif staatsrecht (hukum tata negara positif) yaitu ada berbagai sumber hukum yang dapat kita kaji, HTN positif mempunyai beberapa sumber hukum; 1) hukum tertulis, 2) hukum tak tertulis, 3) yurispridensi, 4) Pendapat Pakar Hukum, Sedangkan Hukum tata negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur dari pada negara. Menurut A.M. Donner (guru besar belanda; bahwa obyek penyelidikan ilmu HTN yaitu penerobosan negara dengan hukum “de doordringing van de staat met het recht” artinya negara sebagai organisasi kekuasaan/jabatan/rakyat) diterobos oleh aneka ragam hukum Sedangkan ilmu HTN dalam arti sempit menyelidiki :
1.      jabatan apa yang terdapat dalam suatu Negara
2.      siapa yang mengadakan
3.      bagaimana cara melengkapi mereka dengan pejabat-pejabat
4.      apa yang menjadi tugasnya
5.      apa yang menjadi wewenangnya
6.      perhubungan kekuasaan satu sama lain
7.      di dalam batas-batas apa organisasi Negara dan bagaimana menjalankan tugasnya.
Dalam membagi HTN dalam arti luas itu dibagi atas dua golongan hukum, yaitu :
1.      Hukum tata Negara dalam arti sempit
2.      Hukum tata usaha negara (administrative recht)
Menurut Van Volenhoven membagi HTN atas golongan:
1.      Hukum pemerintahan (berstuurecht)
2.      Hukum peradilan (justitierecht): peradilan ketatanegaraan, peradilan perdata, Peradilan tata usaha, peradilan pidana.
3.      Hukum kepolisian (politierecht).
4.      Hukum perundang-undangan (regelaarecht)

D.    Asas - Asas Hukum Tata Negara
  1. Asas Pancasila
Setiap Negara didirikan atas filsafah bangsa. Filsafah itu merupakan perwujudan dari keinginan rakyat dan bangsanya. Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materil, karena setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nya dan jika hal itu terjadi, maka peraturan tersebut harus segera di cabut.
Pancasila sebagai Azas Hukum Tata Negara dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
  1. Asas Hukum, Kedaulatan Rakyat, dan Demokrasi
Azas Negara Hukum yaitu negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Azas kedaulatan menghendaki agar setiap tindakan dari Pemerintah harus berdasarkan dengan kemauan rakyat dan pada akhirnya pemerintah harus dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya sesuai dengan hukum. Asas demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah baik secara langsung maupun tak langsung,Azas Demokrasi yang timbul hidup di Indonesia adalah Azas kekeluargaan.
  1. Asas Kesatuan
Asas Kesatuan adalah suatu cara untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu dan damai tanpa adanya perselisihan sehingga terciptanya rasa aman tanpa khawatir adanya diskriminasi.
  1. Azas Pembagian Kekuasaan dan Check Belances
Yang berarti pembagian kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian baik mengenai fungsinya.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.
Anonim. 2011. Pengertian Hukum Tata Negara. http://sukatulis. wordpress. com/ 2011/ 10/16/pengertian-hukum-tata-negara/, diakses 5 maret 2012.
Anonim. 2011. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Cabang Ilmu Pengetahuan Lainnya. http://aomsetiadi.wordpress.com/2011/07/25/hubungan-hukum-tata-negara-dengan-cabang-ilmu-pengetahuan-lainnya/, diakses 5 maret 2012.