ASAS PERUNDANG-UNDANGAN
DAN CONTOHNYA
A. ASAS
LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI
Dalam hukum terdapat suatu asas penting yang dikenal dengan “specialis
derogat legi generali”. Secara sederhana hal ini berarti aturan yang
bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali),
maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada
aturan yang bersifat khusus. Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah
sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan
terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Contoh/kasus yang berkenaan
dengan asas lex specialis
derogat legi generali :
- Pemberlakuan KUHD terhadap KUHPerdata dalam hal perdagangan.
Apabila ada suatu perbuatan
dibidang perdagangan, maka yang hukum yang digunakan adalah KUHD meskipun
pebuatan tersebut diatur didalam KUHPerdata. Hal ini dikarenakan KUHD merupakan
ketentuan yang lebih khusus sedangkan KUHPerdata masih bersifat umum.
- Kasus Bank Global Tbk. (Kasus yang bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi
generali).
Dalam kasus Bank Gobal,
pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang
dilakukan oleh seorang bankir (Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal dari
kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi
pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau
memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan,
berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Putusan Pengadilan Negeri NO.
2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, membebaskan Neloe, CS karena tidak
terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No.
1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun
Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang
Korupsi.
Dari kasus diatas dapat
dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin
specialite sistematische. Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan
diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat
umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus.
Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penerapan hukum tindak pidana
perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary
rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini, Mahkamah
Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena
putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang
ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Seharusnya MA menjerat terdakwa
dengan UU Perbankan, karena aturan hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali. Jadi bisa
dikatakan UU Perbankan merupakan ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU
Korupsi merupakan ketentuan yang lebih umum, bukan sebaliknya.
3.
Kasus
yang terjadi di tengah masyarakat
Seorang yang dengan sengaja tidak membayar
bea masuk / cukai, tidak membayar pajak, ataupun mencuri kayu di hutan milik
negara. Sudah jelas perbuatan mereka tersebut dilakukan dengan sengaja secara
melawan hukum / bertentangan dengan hukum, dapat merugikan keuangan negara,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur-unsur
perbuatan mereka tersebut ternyata memenuhi seluruh unsur yang ada dalam
ketentuan pidana Pasal 2 UU Tipikor.
Dalam aturan hukum memuat asas lex
specialis derogate legi generali. Dengan demikian apabila ada seseorang yang
secara sengaja melakukan suatu perbuatan mencuri kayu di hutan negara, atau
memiliki, membawa dan mengangkut kayu tanpa dilengkapi SKSHH ( Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan ), menurut pembentuk undang-undang kepada mereka tersebut
sebagai perbuatan illegal loging dan melanggar UU No.41 Tahun 1999 tentang
kehutanan, dan bukan sebagai perbuatan yang koruptif, walaupun perbuatan mereka
tersebut memenuhi unsur Pasal 2 UU Tipikor. Begitu pula bagi masyarakat yang
dengan sengaja tidak membayar pajak seperti tidak membayar PBB atau tidak
membayar Pajak kendaraan bermotor, maka harus dijerat dengan UU perpajakan dan
bukan UU Tipikor, karena secara yuridis pembentuk UU telah menghendaki atau
bermaksud untuk memberlakukan ketentuan perpajakan bagi mereka yang tidak
membayar pajak walaupun perbuatan mereka memenuhi unsur - unsur yang termuat
dalam Pasal 2 UU Tipikor
4. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme sampai dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam
posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (legi generali).
5.
Perkara
korupsi yang telah diatur dengan UU No. 35 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengalahkan ketentuan dalam KUHP yang mengatur mengenai pencurian.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengalahkan ketentuan dalam KUHP yang mengatur mengenai pencurian.
6.
UU
Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai lex
generalis (hukum yang umum). Dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan diatur perihal diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis,
yaitu dalam keadaan darurat yang membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya.
Berbeda dengan UU Kesehatan, KUHP sama sekali tidak memperkenankan tindakan
aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal ini, jika terjadi suatu
kasus aborsi atas indikasi medis (seperti diatas), berdasarkan asas Lex
Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan dan
bukan KUHP.
B. ASAS
LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang
sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.
Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara
otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.
Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara
ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No.
20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.
Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara
otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.
Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara
ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No.
20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Kasus yang bertentangan dengan
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori: Seorang TNI
bernama Wisnu di Jakarta, menemukan permasalahan berkaitan dengan peraturan
yang ada. Saat bergabung dengan TNI disampaikan bahwa salah satu syarat untuk
menjadi anggota adalah sanggup untuk melaksanakan Ikatan Dinas Pertama
sekurang-kurangnya 10 tahun dan menandatangani perjanjian Ikatan Dinas Pertama.
Saat ini Wisnu telah selesai
melaksanakan Ikatan Dinas Pertama dan tidak ingin melanjutkan pengabdian di
dalam TNI karena berbagai macam pertimbangan. Namun pada prosesnya dihambat dan
kemudian diterbitkan suatu peraturan baru yang berlaku surut untuk menahan
seorang prajurit yang ingin mengakhiri masa dinas setelah ikatan dinas pertama.
Dengan peraturan baru ini, mustahil seorang prajurit dapat mengakhiri ikatan
dinas pertama karena secara otomatis diperpanjang dalam Ikatan Dinas Khusus
karena mengikuti pendidikan kejuruan.
Dalam PP No.39 Tahun 2010 pada pasal 1
No.13 sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan Ikatan Dinas Khusus adalah Ikatan
Dinas dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 4
(empat) tahun sebagai tambahan yang dikenakan bagi Prajurit TNI yang mengikuti
pendidikan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu di
luar lembaga pendidikan TNI dengan biaya negara. Hal ini bertentangan dengan
Buku Petunjuk Pelaksanaan TNI AU tentang Pemisahan Prajurit yang dengan
semena-mena memasukkan komponen pendidikan dasar kejuruan sebagai salah satu
pendidikan yang akan menambah Ikatan Dinas sampai dengan 8 (delapan) tahun.
Padahal semua prajurit pasti akan mengikuti pendidikan tersebut dan tidak
mungkin dapat berdinas tanpa pendidikan itu. Di PP No.39 Tahun 2010 juga
dijelaskan bahwa semua Ikatan Dinas harus dimulai dengan penandatanganan Surat
Perjanjian sebelumnya. Kasus ini memberikan gambaran bahwa peraturan
bertentangan dengan peraturan diatasnya
C. ASAS
LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIOR
Asas lex superior derogat legi inferiori yaitu peraturan yang lebih
tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada
suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi
tersebut. Bagi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan Judicial Review (uji material) yang diajukan melalui gugatan dan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada
suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi
tersebut. Bagi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan Judicial Review (uji material) yang diajukan melalui gugatan dan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Kasus yang bertentangan dengan
asas lex superior derogat legi inferior: Episode kejatuhan Bank Tripanca memunculkan suatu sisi
permasalahan hukum dalam pengelolaan keuangan daerah. Pemkab Lampung Timur
berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 bersikeras bahwa penyimpanan dana
APBD di Bank Tripanca tidak bertentangan dengan hukum. Peraturan
Perundang-Undangan yang melandasi pengelolaan pemerintahan daerah adalah UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; Kedua peraturan
perundang-undangan ini menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Otonomi daerah memberikan hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri namun tetap dalam koridor
sistem hukum dalam pengertian dilaksanakan berdasarkan hukum. Oleh karena itu,
ketika dihadapkan kepada konflik antara UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, tentunya sesuai dengan teori hirarki hukum kita harus
mendahulukan U No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap
Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Disini
kemudian timbul pertanyaan sejauh mana Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dapat dijadikan dasar keberlakukan suatu kebijakan
pengelolaan keuangan daerah, tentunya berdasarkan teori hirarki hukum, kita
harus mendasarkan jawaban kita.
Pasal 193 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
menjelaskan dana APBD tidak boleh disimpan atau didepositokan di bank
nonpemerintah. Pasal ini secara jelas memberikan norma larangan untuk menyimpan
atau mendepositokan dana APBD di bank nonpemerintah, dengan kata lain dana APBD
hanya dapat disimpan atau didepositokan di bank pemerintah. Sementara itu
Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang
menyebutkan bupati dapat membuka rekening kas daerah di lebih dari satu bank
yang sehat merupakan suatu ketentuan lanjutan dari ketentuan UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam artian bank yang sehat ini haruslah
masuk ke dalam kategori bank pemerintah sesuai teori hirarki hukum. Perlu dipertanyakan
lagi apakah Bank Tripanca termasuk kategori bank pemerintah atau
nonpemerintah. Kalau memang Bank Tripanca bukan merupakan Bank pemerintah,
berarti Pemkap Lampung Timur telah melanggar Pasal 193 Ayat (1) UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah (bertentangan dengan asas lex superior derogat
legi inferiori).
D. ASAS
LEGALITAS
Tiada suatu peristiwa dapat dipidana
selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen
feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke
strafbepaling). asas legalitas yang mengandung tiga pengertian,
yaitu:
- Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak
terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
- Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
- Aturan-aturan hukum pidana
tidak berlaku surut
Contoh yang berkenaan dengan
Asas Legalitas: Keadilan bagi
korban salah tangkap. Mereka kembali bisa menghirup kebebasan. Namun, fenomena
itu lagi-lagi memperlihatkan betapa kerdilnya kedudukan warga di hadapan
kekuasaan negara. Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran
haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara wajib melaksanakan asas legalitas,
yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga yang menjadi korban
salah tangkap.
Kasus yang bertentangan dengan
asas legalitas: putusan
Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1982 tanggal Desember 1983, dalam perkara korupsi
Bank Bumi Daya dengan terdakwa direktur Bank Bumi Daya, Raden Sonson
Natalegawa. Terdakwa ternyata melakukan penyelewengan kewenangan dengan
memberikan prioritas kredit kepada PT. Jawa Building, bergerak dibidang real
estate, yang mana dilarang oleh BI berdasarkan surat edaran No. SE 6/22/UPK,
tertanggal 30 juli 1983. Terdakwa ternyata menerima fasilitas yang berlebihan
dan keuntungan lain dari pemberian kredit tersebut dari A Tjai alias Endang
Wijaya.
Dalam kasus ini MA menerapkan ajaran perbuatan melawan
hukum secara materiil dalam fungsi positif dalam putusannya No. 275 K/Pid/1982.
Dalam putusan ini MA menyatakan bahwa “jika penyalahgunaan wewenang hanya
dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri
tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai
pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur
berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum
menurut kepatutan dalam masyarakat”. Artinya walaupun tindakan penyelewengan
tersebut tidak memenuhi rumusan delik namun bertentangan dengan rasa keadilan
dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat, perbuatan penyelewengan ini dapat
dijatuhi pidana.
Walau pada dasarnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif ini bertentangan dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes), namun demi rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban di masyarakat MA memutuskan bahwa perbuatan penyalahgunaan jabatan dalam kasus ini termasuk dalam tindak pidana korupsi. Hukum bukan hanya undang-undang tertulis yang di sahkan oleh pejabat yang berwenang namun hukum itu juga merupakan perilaku yang berkembang di masyarakat. Karena keadaan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan.
Walau pada dasarnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif ini bertentangan dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes), namun demi rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban di masyarakat MA memutuskan bahwa perbuatan penyalahgunaan jabatan dalam kasus ini termasuk dalam tindak pidana korupsi. Hukum bukan hanya undang-undang tertulis yang di sahkan oleh pejabat yang berwenang namun hukum itu juga merupakan perilaku yang berkembang di masyarakat. Karena keadaan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan.
Kasus lain yang bertentangan
dengan asas legalitas: tindakan Menteri Hukum dan HAM
Amir Samsuddin dan wakilnya Denny Indrayana yang menunda penundaan permohonan
bebas bersyarat Paskah Suzetta melanggar hukum. Apa yang dilakukan Amir dan
Denny adalah jelas-jelas melanggar hukum, dan tidak sepatutnya dilakukan dalam
sebuah negara hukum negara hukum menjunjung tinggi asas legalitas: tidak ada
tindakan dari aparatur negara boleh dilakukan bertentangan dengan norma hukum
yang berlaku.
Kasus yang baru-baru ini
bertentangan dengan asas legalitas : kakus prita mulyasari. Aparat penegak hukum membidik Prita dengan
pasal 27 mengenai pencemaran nama dalam UU ITE yang ancaman maksimum penjara
selama 6 tahun. Pasal ini, walaupun oleh MK telah dinyatakan bersifat
konstitusional, tetap saja ketentuan ini tidaklah diperlukan karena pengaturan
mengenai pencemaran nama sudah diatur dalam banyak pasal di KUHP. Adanya
Pengaturan pasal ini bagi penulis bersifat over-kriminalisasi, karena memang
substansinya telah diatur secara jelas dalam KUHP.
Sepertinya
pembuat Undang-Undang perlu memperhatikan bahwa dalam tataran teoritik,
pengaturan di luar KUHP baru dimungkinkan apabila tidak ada delik genus dalam
KUHP yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut
benar-benar kejahatan baru yang tidak ada padanannya dalam KUHP. Jika ada
ketentuan genus-nya dalam KUHP maka cukup dilakukan dengan cara mengamandemen
KUHP. Perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di
luar KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari KUHP karena telah
mengatur substansi hukum yang secara diam-diam membentuk sistem hukum pidana
sendiri yang berbeda dengan dan tidak terkontrol atau tidak terkendali oleh
asas-asas umum hukum pidana buku satu KUHP, padahal sesuai dengan prinsip
kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan umum hukum pidana nasional yang
semestinya menjadi dasar dan landasan dalam mengembangkan hukum pidana dalam
pengaturan perundang-undangan di luar KUHP. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan
asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas.